Apakah aku sedang
melayang? Seluruh permukaan kulitku tak merasakan tekanan apapun. Apakah aku
tertidur dan bermimpi? Tapi disenja hari seperti ini aku tak biasa tertidur.
Kubuka semua indraku dengan pelan. Sepanjang berfikir
tadi hanya perasa yang aktif, aku dapat merasakan sinar kuning keemasan meraba
pori-pori dengan suasana yang sibuk tetapi sangat tenang. Sedikit demi sedikit
aroma tembakau kualitas terendah tercium pekat terpadu dengan bau kopi instan
yang mengkontaminasi otak belakangku, kebiasaan buruk yang kuketahui akan
kusesali seumur hidup.
Tali temali jaring laba-laba kulihat disetiap pojok
pertemuan dinding beton ini. Aku selalu heran melihat mereka, tak bosan bergantung
disana walaupun setiap minggu diusir dengan paksa. Aku selalu berpendapat kalau
mereka sekumpulan makhluk bodoh, tapi disaat seperti ini entah mengapa
kata-kata takdir yang terpikir lebih tepat untuk mereka. Anjing menggonggong
diluar tempat ini, lalu lalang pembawa karbon sedang bahagia akan segera
dirumah. Keadaan yang kukenali betul.
Aku masih berada dikamarku, tempat yang kusadari telah
menjaga dan menyayangiku selama hampir 3 tahun ini. Terdapat satu meja panjang diruangan
ini, dideretan paling kanan terdapat kemeja-kemeja yang sangat jarang terpakai,
momen untuk memakainya tidak ada. Disampingnya tumpukan sampah bungkus bekas
tembakau berbagai warna yang kalau kata orang bijak mungkin sudah jutaan dalam
uang jika tak pernah kubeli dan tupukan buku-buku yang membuatku stress
bertahun-tahun mengisi sisa kekosongan meja. Tumpukan itu sudah lama berdebu,
di tumpukan paling atas bertulisan arab yang akan membuat hati semua orang
tentram juga tak luput dari debu. Entah berapa lama tak pernah tersentuh lagi
semua itu. Tetapi tempat tinggal inilah yang paling terjangkau bagiku di dunia
ini, walaupun setiap periodenya tetap terlambat kulunasi. Ditempat yang berbau
tembakau ini beribu angan dan kata menjadi mimpi.
“ Jelas menatap
awan berarak”
“ Wajah murung semakin telihat”
Alunan lagu Iwan Fals inikah yang membuatku melayang.
Bukan!! Terlalu banyak menonton film barangkali atau aku sekarang sedang berada
dalam salah satu adegannya. Aku terkejut!! Tiba-tiba layar persegi polos
seperti gelas berjalan mendekatiku dari kejauhan. Seperti televisi yang
dihidupkan garis datar kemudian melebar berubah menjadi gambar yang berjalan.
Dan satu lagi persegi itu dibelakangnya dan dibelakangnya lagi, kemudian
berturut-turut melaju kedepan dan menabrak kepalaku. Semakin cepat dan cepat.
Yang aku herankan tidak satupun dari persegi gelas itu yang tidak ada diriku.
Rasanya seperti dilemper botol tetapi mereka tidak pecah. Dan aku tidak akan
sebodoh itu mengira-ngira mereka datang dari mana.
Salah satu persegi itu berhenti tepat di depan mata.
Sebuah adegan dimana aku sedang tertawa sepertinya, bersama para
sahabat-sahabat yang sangat mempengaruhi keberadaanku. Tapi itu hanya adegan
bisu dan dipercepat yang menampakkan aku bahagia, waktu itupun telah lama berlalu.
Perlahan-lahan persegi itu menabrakkan diri ke kepalaku dan peristiwa ini pun
terjadi seperti awal lagi. Gambaran hidup dalam persegi seperti gelas yang
melayang-layang menghantamkan diri di kepalaku.
Kali ini yang berhenti berbeda, bukan adegan diriku dan
gambarannya sangat diperlambat. Aku sedikit tersenyum, dalam hati mungkin. Aku
tau gambar ini, salah satu kebahagiaan terpendam yang kumiliki. Kedua ujung
bibir itu mulai membentuk sabit yang indah. Ah.. senyuman paling manis yang
dimiliki seorang wanita. Sepertinya dia akan tersenyum dan melambai padaku.
Kupandangi setiap lekuk wajahnya dengan harap adegan ini tak berakhir. Mungkin
akulah yang pecundang. Kemudian kembali keawal lagi, tanpa sempat membalas
lambaianya persegi itu bergerak lagi, menabrak lagi. Lepas dari rasa sakit dari
gelas ini aku tersenyum dan melambai, menyesal kenapa baru berani setelah
berlalu.
Cepat berlalu dan sekarang persegi yang lebih besar yang
terlihat. Gambarnya tak bergerak, tak ada adegan. Hanya sebuah foto, sepertinya
keluarga besar sedang duduk-duduk bercengkrama. Yang lebih muda duduk dilantai
dengan santai menikmati cemilan dan yang tua duduk dengan secangkir teh mereka
masing-masing. Mereka sangat bahagia dan penuh harapan sepertinya. Aku berada
dalam foto di foto ini, menggunakan jas yang kutau kupakai saat kelulusanku. Meraka
adalah orang-orang yang sangat jarang kutemui. Melihat gambaran kebahagiaan ini
membuat suasana hatiku berubah. Gambaran senyum manis memudar dan rasanya air
mata ingin menghambur keluar dari kelopak ini. Belum sampai rasa pedih ini
bermula, tiba-tiba kembali ke awal lagi. Persegi bergerak dan menabrak lagi.
Tidak seperti adegan sebelumnya kali ini yang lebih
jelas, bersuara dan berjalan normal. Ada dua adegan saling besebrangan mengisi
masih-masing sisi persegi. Satu lelaki berumur, hitam dan kriting dengan wajah
bulat. Sosok tampannya telah memudar oleh usia barangkali, raut wajahnya tampak
penuh dengan beban. Satunya lagi seorang perempuan berumur, kurus, keibuan,
tampak lemah tapi aku tau dia orang yang kuat, di sampingnya duduk manis
seorang gadis remaja dan anak kecil yang lucu. Kedua adegan ini sepertinya
sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang yang mereka rindukan.
“ Nak, gmana
kabarnya?ga ada rencana pulang?” kata perempuan itu.
“Nak, lagi
ngapain?kabarnya baik?” kata si lelaki.
“anak lain pada
pulang ko kamu engga?terdiam sejenak.”ya,
udah ga apa-apa. Jangan lupa sholat dan sempatkan baca Al-Qura’an, kami disini
doakan yang terbaik buat mu nak. Oh..iya ini ademu mau ngomong?” sambung
perempuan itu.
“dikirimi seperti
biasa kh?” terdiam sejenak, “Bapak
hari ini ga terapi,mungkin bulan depan, soalnya kolestrolnya udah lumayan
turun, maaf ya nak..sedikikit maklum potongan bank masih jalan” Sambung
lelaki itu.
“kata ademu belikan
permen kalo datang, dia malu-malu ngomong,hehe..udah dulu ya ibu mau lanjutin
masak, jangan lupa kata-kata ibu tadi ya. Hati-hati di kampung orang”
perempuan itu menutup teleponnya.
“ya udah..bapak mau
kekantor dulu supaya cepat pulang. Nanti biaya tambah banyak kelamaan
dipenginapan. Jangan lupa sempatkan sholat mana yang sempat di kerjakan. Jangan
terlalu khawatir dan hati-hati dikampung orang” lelaki itu menutup
telponnya.
Mereka terlihat lega, tetapi ada beban kerinduan dan
kekhawatiran dari raut muka mereka. Tanpa sadar suara isakan tangis keluar dari
mulutku. Yang kusadari telah bermula ketika adegan ini muncul. Aku sangat tau
tak mungkin bisa menceritakan mereka seumur hidupku. Sangat ingin memeluk
mereka mencium, kedua pipi mereka dan berkata bahwa aku sangat menyayangi
mereka. Hanya isak tangis yang terdengar. Sebenarnya dari tadi badan ini
melayang membeku, semua yang dirasakan dari indra tadi hanya interpretasi dari
keadaan haati yang ingin mengindranya. Aku tidak benar-benar tersenyum, tidak
menangis dan tidak mengeluarkan suara apapun.
Semua tiba-tiba menghilang, aku berteriak tapi tak
bersuara, menangis tak berair, satu persatu gambaran-gambaran itu hilang dalam
penyesalan, tetapi hanya keheningan yang ada. Aku masih melayang. Melayang
bersama waktu yang tersia-siakan karena angan-angan. Ego dan kepengecutan diri
yang tanpa sadar menjadi rasa malas yang menggerogoti. Dan terlupakannya Tuhan
dalam setiap doa, membawaku melayang menyusuri penyesalan-penyesalan ini. Tak
pernah tergantikan, terbayarkan dan harus di akhiri. Mungkin akan sakit dan
menyakiti, tapi sekarang bukan waktunya untuk berfikir tentang pilihan-pilahan
yang ada. Terlalu banyak pilihan yang sudah tersia-siakan.
Apa
yang membuatku melayang. Aku mendongak,ingin menegarkan diri dan membuat sebuah
pembenaran atas apa semua ini, kulihat aku tidak benar-benar melayang ada
sanggahan yang mengelilingi angin-angin menopang tubuhku dengan kuat dan
butiran air mata kering mulai menetes tanpa sadar. Berkeyakinan tentang hari esok
akan datang ternyata tidak benar. Penundaan-penundaan karena keyakinan ini
hanya membuihkan harapan-harapan kosong yang pecah bersama dengan embun di esok
hari. Itulah yang sekarang ini terjadi. Aku melupakan Tuhan, aku selalu
berharap ada kesempatan kedua dalam setiap doa yang tidak menyebut Tuhan. Aku
tidak menyadari bahwa Tuhan telah meberiku dua kehidupan sebelum aku
diciptakan. Kehidupanku saat ini dan yang akan datang. Dan kusadari jika Tuhan
memberiku kesempatan kedua, Dia akan kehilangan maha kebijaksanaan-Nya. Pasrah
adalah satu-satunya kata untuk melawan takdir.
Aku
melayang dan mungkin akan terbang. Apakah senja ini benar-benar berakhir oleh
malam. Bait-bait lagu Iwan Fals mulai meredup.
“Setengah putus asa
dia berucap”
“Maaf... i...”
lalu beku.