Kamis, 17 April 2014

DIKALA SENJA BERAKHIR



Apakah aku sedang melayang? Seluruh permukaan kulitku tak merasakan tekanan apapun. Apakah aku tertidur dan bermimpi? Tapi disenja hari seperti ini aku tak biasa tertidur.
            Kubuka semua indraku dengan pelan. Sepanjang berfikir tadi hanya perasa yang aktif, aku dapat merasakan sinar kuning keemasan meraba pori-pori dengan suasana yang sibuk tetapi sangat tenang. Sedikit demi sedikit aroma tembakau kualitas terendah tercium pekat terpadu dengan bau kopi instan yang mengkontaminasi otak belakangku, kebiasaan buruk yang kuketahui akan kusesali seumur hidup.
            Tali temali jaring laba-laba kulihat disetiap pojok pertemuan dinding beton ini. Aku selalu heran melihat mereka, tak bosan bergantung disana walaupun setiap minggu diusir dengan paksa. Aku selalu berpendapat kalau mereka sekumpulan makhluk bodoh, tapi disaat seperti ini entah mengapa kata-kata takdir yang terpikir lebih tepat untuk mereka. Anjing menggonggong diluar tempat ini, lalu lalang pembawa karbon sedang bahagia akan segera dirumah. Keadaan yang kukenali betul.
            Aku masih berada dikamarku, tempat yang kusadari telah menjaga dan menyayangiku selama hampir 3 tahun ini. Terdapat satu meja panjang diruangan ini, dideretan paling kanan terdapat kemeja-kemeja yang sangat jarang terpakai, momen untuk memakainya tidak ada. Disampingnya tumpukan sampah bungkus bekas tembakau berbagai warna yang kalau kata orang bijak mungkin sudah jutaan dalam uang jika tak pernah kubeli dan tupukan buku-buku yang membuatku stress bertahun-tahun mengisi sisa kekosongan meja. Tumpukan itu sudah lama berdebu, di tumpukan paling atas bertulisan arab yang akan membuat hati semua orang tentram juga tak luput dari debu. Entah berapa lama tak pernah tersentuh lagi semua itu. Tetapi tempat tinggal inilah yang paling terjangkau bagiku di dunia ini, walaupun setiap periodenya tetap terlambat kulunasi. Ditempat yang berbau tembakau ini beribu angan dan kata menjadi mimpi.
            “ Jelas menatap awan berarak”
            “ Wajah murung semakin telihat”
            Alunan lagu Iwan Fals inikah yang membuatku melayang. Bukan!! Terlalu banyak menonton film barangkali atau aku sekarang sedang berada dalam salah satu adegannya. Aku terkejut!! Tiba-tiba layar persegi polos seperti gelas berjalan mendekatiku dari kejauhan. Seperti televisi yang dihidupkan garis datar kemudian melebar berubah menjadi gambar yang berjalan. Dan satu lagi persegi itu dibelakangnya dan dibelakangnya lagi, kemudian berturut-turut melaju kedepan dan menabrak kepalaku. Semakin cepat dan cepat. Yang aku herankan tidak satupun dari persegi gelas itu yang tidak ada diriku. Rasanya seperti dilemper botol tetapi mereka tidak pecah. Dan aku tidak akan sebodoh itu mengira-ngira mereka datang dari mana.
            Salah satu persegi itu berhenti tepat di depan mata. Sebuah adegan dimana aku sedang tertawa sepertinya, bersama para sahabat-sahabat yang sangat mempengaruhi keberadaanku. Tapi itu hanya adegan bisu dan dipercepat yang menampakkan aku bahagia, waktu itupun telah lama berlalu. Perlahan-lahan persegi itu menabrakkan diri ke kepalaku dan peristiwa ini pun terjadi seperti awal lagi. Gambaran hidup dalam persegi seperti gelas yang melayang-layang menghantamkan diri di kepalaku.  
            Kali ini yang berhenti berbeda, bukan adegan diriku dan gambarannya sangat diperlambat. Aku sedikit tersenyum, dalam hati mungkin. Aku tau gambar ini, salah satu kebahagiaan terpendam yang kumiliki. Kedua ujung bibir itu mulai membentuk sabit yang indah. Ah.. senyuman paling manis yang dimiliki seorang wanita. Sepertinya dia akan tersenyum dan melambai padaku. Kupandangi setiap lekuk wajahnya dengan harap adegan ini tak berakhir. Mungkin akulah yang pecundang. Kemudian kembali keawal lagi, tanpa sempat membalas lambaianya persegi itu bergerak lagi, menabrak lagi. Lepas dari rasa sakit dari gelas ini aku tersenyum dan melambai, menyesal kenapa baru berani setelah berlalu.
            Cepat berlalu dan sekarang persegi yang lebih besar yang terlihat. Gambarnya tak bergerak, tak ada adegan. Hanya sebuah foto, sepertinya keluarga besar sedang duduk-duduk bercengkrama. Yang lebih muda duduk dilantai dengan santai menikmati cemilan dan yang tua duduk dengan secangkir teh mereka masing-masing. Mereka sangat bahagia dan penuh harapan sepertinya. Aku berada dalam foto di foto ini, menggunakan jas yang kutau kupakai saat kelulusanku. Meraka adalah orang-orang yang sangat jarang kutemui. Melihat gambaran kebahagiaan ini membuat suasana hatiku berubah. Gambaran senyum manis memudar dan rasanya air mata ingin menghambur keluar dari kelopak ini. Belum sampai rasa pedih ini bermula, tiba-tiba kembali ke awal lagi. Persegi bergerak dan menabrak lagi.
            Tidak seperti adegan sebelumnya kali ini yang lebih jelas, bersuara dan berjalan normal. Ada dua adegan saling besebrangan mengisi masih-masing sisi persegi. Satu lelaki berumur, hitam dan kriting dengan wajah bulat. Sosok tampannya telah memudar oleh usia barangkali, raut wajahnya tampak penuh dengan beban. Satunya lagi seorang perempuan berumur, kurus, keibuan, tampak lemah tapi aku tau dia orang yang kuat, di sampingnya duduk manis seorang gadis remaja dan anak kecil yang lucu. Kedua adegan ini sepertinya sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang yang mereka rindukan.
            “ Nak, gmana kabarnya?ga ada rencana pulang?” kata perempuan itu.
            “Nak, lagi ngapain?kabarnya baik?” kata si lelaki.
            “anak lain pada pulang ko kamu engga?terdiam sejenak.”ya, udah ga apa-apa. Jangan lupa sholat dan sempatkan baca Al-Qura’an, kami disini doakan yang terbaik buat mu nak. Oh..iya ini ademu mau ngomong?” sambung perempuan itu.
            “dikirimi seperti biasa kh?” terdiam sejenak, “Bapak hari ini ga terapi,mungkin bulan depan, soalnya kolestrolnya udah lumayan turun, maaf ya nak..sedikikit maklum potongan bank masih jalan” Sambung lelaki itu.
            “kata ademu belikan permen kalo datang, dia malu-malu ngomong,hehe..udah dulu ya ibu mau lanjutin masak, jangan lupa kata-kata ibu tadi ya. Hati-hati di kampung orang” perempuan itu menutup teleponnya.
            “ya udah..bapak mau kekantor dulu supaya cepat pulang. Nanti biaya tambah banyak kelamaan dipenginapan. Jangan lupa sempatkan sholat mana yang sempat di kerjakan. Jangan terlalu khawatir dan hati-hati dikampung orang” lelaki itu menutup telponnya.
            Mereka terlihat lega, tetapi ada beban kerinduan dan kekhawatiran dari raut muka mereka. Tanpa sadar suara isakan tangis keluar dari mulutku. Yang kusadari telah bermula ketika adegan ini muncul. Aku sangat tau tak mungkin bisa menceritakan mereka seumur hidupku. Sangat ingin memeluk mereka mencium, kedua pipi mereka dan berkata bahwa aku sangat menyayangi mereka. Hanya isak tangis yang terdengar. Sebenarnya dari tadi badan ini melayang membeku, semua yang dirasakan dari indra tadi hanya interpretasi dari keadaan haati yang ingin mengindranya. Aku tidak benar-benar tersenyum, tidak menangis dan tidak mengeluarkan suara apapun.  
            Semua tiba-tiba menghilang, aku berteriak tapi tak bersuara, menangis tak berair, satu persatu gambaran-gambaran itu hilang dalam penyesalan, tetapi hanya keheningan yang ada. Aku masih melayang. Melayang bersama waktu yang tersia-siakan karena angan-angan. Ego dan kepengecutan diri yang tanpa sadar menjadi rasa malas yang menggerogoti. Dan terlupakannya Tuhan dalam setiap doa, membawaku melayang menyusuri penyesalan-penyesalan ini. Tak pernah tergantikan, terbayarkan dan harus di akhiri. Mungkin akan sakit dan menyakiti, tapi sekarang bukan waktunya untuk berfikir tentang pilihan-pilahan yang ada. Terlalu banyak pilihan yang sudah tersia-siakan.
Apa yang membuatku melayang. Aku mendongak,ingin menegarkan diri dan membuat sebuah pembenaran atas apa semua ini, kulihat aku tidak benar-benar melayang ada sanggahan yang mengelilingi angin-angin menopang tubuhku dengan kuat dan butiran air mata kering mulai menetes tanpa sadar. Berkeyakinan tentang hari esok akan datang ternyata tidak benar. Penundaan-penundaan karena keyakinan ini hanya membuihkan harapan-harapan kosong yang pecah bersama dengan embun di esok hari. Itulah yang sekarang ini terjadi. Aku melupakan Tuhan, aku selalu berharap ada kesempatan kedua dalam setiap doa yang tidak menyebut Tuhan. Aku tidak menyadari bahwa Tuhan telah meberiku dua kehidupan sebelum aku diciptakan. Kehidupanku saat ini dan yang akan datang. Dan kusadari jika Tuhan memberiku kesempatan kedua, Dia akan kehilangan maha kebijaksanaan-Nya. Pasrah adalah satu-satunya kata untuk melawan takdir. 
Aku melayang dan mungkin akan terbang. Apakah senja ini benar-benar berakhir oleh malam. Bait-bait lagu Iwan Fals mulai meredup.
            “Setengah putus asa dia berucap”
            “Maaf... i...” lalu beku.